“Ruma Cao SapoLikang” menjadi icon utama dalam gelaran festival budaya Ngada yang akan berlangsung di Kecamatan Riung 1-8 Agustus 2024 mendatang. Ruma Cao Sapo Likang adalah tradisi budaya khas masyarakat Riung yang masih eksis hingga saat ini dan masih dijalankan ritualnya secara turun temurun. Etnis Riung sendiri tergabung dari tiga wilayah kecamatan yakni Riung, Riung Barat dan Wolomeze. Masing-masing memiliki kesamaan potensi dan keragaman budaya dan nilai kearifan lokal yang perlu dilestarikan. Maka kegiatan festival budaya ini “Ruma Cao Sapolikang” akan dikaji secara mendalam oleh Tim pengetahuan dan ditulis dalam sebuah buku untuk menjadi dokumen kebudayaan sebagai referensi pengetahuan budaya masyarakat Ngada.
Dinas Kebudayaan Kabupaten Ngada bekerjasama dengan sejumlah akademisi yang tergabung dalam Tim pengetahuan, melakukan riset dan penelitian mendalam tentang tradisi ” Ruma Ca’o Sapolikang” yang saat ini telah memasuki 80 persen pengerjaan penyusunan buku dokumentasi budaya tersebut.
Menurut koordinator Tim Riset dan Pengetahuan Ermelinda Yosefa Awe, S.Sos.,M.Pd, kegiatan riset dan penelitian sudah dimulai dari bulan Desember 2023 berupa temu kenal dengan berbagai narasumber dan kunjungan lokasi di Lengkosambi Utara, Marunggela, Tadho sebagai pusat kegiatan dari tradisi Rumah ca’o SapoLikang .
Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa di wilayah Lengkosambi terdapat 8 suku yang beragam yakni suku Copi, Woang, Cila, Toring, Wuku Wea Mboang, Toring Pondi, Ringo dan Suku Dheru. Namun ada satu tradisi yang menyatukan ragam suku di Riung yakni tradisi “Ruma Ca’o Sapolikang”, sebuah tempat berupa tungku api dalam rumah berbentuk kerucut beratap ilalang sebagai pusat kegiatan upacara adat masyarakat Riung. Untuk lakukan puji dan sembahan kepada nenek moyang atas seluruh aktifitas hidup hingga dari kelahiran hingga kematian. Masyarakat etnis Riung meyakini Sapo Likang adalah tempat berdiamnya Roh leluhur mereka, sehingga wajib untuk memberikan penghormatan dan persembahan sesajen di Sapo Likang. Dan tradisi itu terus tumbuh dan berjalan hingga saat ini dan diangkat dalam Festival Budaya Ngada tahun 2024.
Dalam penyusunan buku bertajuk ” Ruma Cao Sapo Likang ” ini, tim Pengetahuan yakni Ibu Ermelinda Yosefa Awe, S.Sos.,M.Pd, Dr. John Sayangan, Ibu Maria Patrisia, Pak Obet Kleden, Pak Wilibaldus Bhoke menggali berbagai informasi tentang tradisi “Ruma Ca’o SapoLikang” mulai dari proses Pembuatan, Struktur bangunan, Ritual yang dijalankan, Pantangan atau larangan, Siapa saja yang terlibat dalam upacara, Fungsi dan Prosesi ritual yang diwajibkan serta berbagai informasi yang akan menjadi sumber penyusunan buku budaya. Hasil dari penulisan ini akan dibukukan dan dilaunching pada Festival Budaya Ngada tahun 2024 di Lengkosambi Utara.
” Kita di Ngada punya banyak sekali kekayaan budaya. Tim kami juga tahun 2023 menyelesaikan penyusunan buku tentang “Sagi” yang saat ini sudah diedarkan di sekolah, Desa dan Instansi lain. Budaya kita itu budaya tutur, jadi bisa hilang atau informasinya tidak utuh sampai ke generasi berikutnya. Jadi sangat penting untuk mendokumentasikan semua kekayaan budaya Ngada dalam tulisan dan buku. Sehingga bisa jadi sumber pengetahuan dan referensi bagi generasi mendatang dan juga kekayaan budaya kita tidak hilang atau punah karena perkembangan jaman dan trend globalisasi. Kami berharap bisa mendokumentasikan tradisi budaya Ngada lainnya, karena itu kekayaan kita yang sesungguhnya, Budaya jadi akar dan kompas perjalanan hidup masyarakat Ngada, jadi jangan sampai hilang,” tegas Ermlinda.
Saat ini Tim Pengetahuan telah bekerja hampir 80 persen dalam penyusunan buku ” Ruma Ca’o Sapolikang”. Diharapkan dapat selesai tepat waktu untuk dilaunching pada Festival Budaya di Lengkosambi Utara dan untuk menjadi sumber bacaan bermanfaat bagi masyarakat Ngada umunya dan etnis Riung pada khususnya.
Terima kasih atas upaya “pencatatan” tradisi budaya yang hidup di Riung.
Mendokumentasikan tradisi budaya menjadi sesuatu yang tertulis dan menjadi buku adalah hal yang sangat baik.
Riung terdiri dari berbagai etnis dan suku. Ini bisa dilihat dari bahasa yang digunakan di Riung. Untuk kata “tidak” saja ada NGGATE, GHATE, NGGATI, TOE, PAE, PAE’ PAI’ dan PAWA.
Maka ini sekaligus menjelaskan bahwa RUMA CA’O SAPO LIKANG adalah “KHAS LENGKOSAMBI” TIDAK MENGGAMBARKAN RIUNG SECARA KESELURUHAN.
Terima kasih Pak untuk responnya,berbagai masukan akan disampaikan kepada tim penulis, karena pengerjaan buku masih terus dilakukan.Salam hormat